Indoneisa
terbakar lagi. Asap dari api yang dinyalakan untuk membuka lahan di
Kalimantan Selatan (Borneo) dan Sumatera menyebabkan tingkat polusi di
Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok meningkat, menyebabkan munculnya
masalah kesehatan yang berkaitan dengan asap, kecelakaan lalu lintas,
dan biaya ekonomi yang menyertainya. Negara-negara tetangga pun kembali
menuntut adanya tindakan namun pada akhirnya tetap saja kebakaran akan
berlangsung hingga datangnya musim hujan.
Kebakaran ini - dan asap yang mencekik - telah menjadi peristiwa tahunan
di Indonesia. Beberapa tahun lebih buruk dari tahun-tahun yang lain -
terutama saat kondisi el Nino yang kering mengubah hutan kawasan ini
menjadi sangat mudah terbakar - tapi keseluruhan trend ini tidaklah
baik. Kenapa bencana kebakaran ini terus saja terjadi?
Kesalahan seharusnya ditimpakan pertama kali pada pemerintah Indonesia
atas kegagalan sistematis untuk menggalakkan hukum yang didesain untuk
mengurangi tingkat penggundulan hutan yang mengejutkan di negara ini.
Sejak 1990, angka-angka resmi telah menunjukkan bahwa Indonesia telah
kehilangan seperempat dari keseluruhan luas hutannya. Berkurangnya
hutan-hutan primer itu menjadi lebih buruk: hampir 31 persen dari hutan
tua kepulauan ini telah jatuh ke tangan penambang dan pengembang lahan
pada periode yang sama. Bahkan, tingkat penggundulan hutan ini tidak
melambat. Berkurangnya hutan dalam satu tahun telah meningkat hingga 19
persen sejak akhir 1990an, sementara setiap tahunnya berkurangnya hutan
primer telah meluas hingga 26 persen. Statistik ini seharusnya menjadi
sesuatu yang memalukan bagi Indonesia dan bukti ketidakmampuan
pemerintah mengatasi berkurangnya hutan dan ketidakmampuan dalam
menanggulangi kroni dan korupsi.
Berkurangnya
hutan di Indonesia
Penyebab
langsung berkurangnya hutan di Indonesia tidaklah kompleks. Kebanyakan
penggundulan hutan adalah akibat dari penebangan hutan dan pengubahan
hutan menjadi pertanian. Saat ini Indonesia menjadi eksportir kayu
tropis terbesar di dunia - suatu komoditas yang menghasilkan hingga 5
milyar USD tiap tahunnya - dan produsen minyak kelapa terbesar kedua,
salah satu dari minyak sayur paling produktif di dunia, digunakan di apa
pun mulai dari biskuit hingga biofuel.
Penebangan kayu secara legal berdampak pada 700.000-850.000 hektar hutan
setiap tahunnya di Indonesia, namun penebangan hutan ilegal yang telah
menyebar meningkatkan secara drastis keseluruhan daerah yang ditebang
hingga 1,2-1,4 juta hektar, dan mungkin lebih tinggi - di tahun 2004,
Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan bahwa 75 persen dari
penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada larangan resmi untuk
mengekspor kayu dari Indonesia, kayu tersebut biasanya diselundupkan ke
Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari beberapa
perkiraan, Indonesia kehilangan pemasukan sekitar 1 milyar dollar
pertahun dari pajak akibat perdagangan gelap ini. Penambangan ilegal ini
juga merugikan bisnis kayu yang resmi dengan mengurangi suplai kayu
yang bisa diproses, serta menurunkan harga internasional untuk kayu dan
produk kayu.
Penebangan hutan di Indonesia telah membuka beberapa daerah yang paling
terpencil, dan terlarang, di dunia pada pembangunan. Setelah berhasil
menebangi banyak hutan di daerah yang tidak terlalu terpencil,
perusahaan-perusahaan kayu ini lantas memperluas praktek mereka ke pulau
Kalimantan dan Irian Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini banyak
petak-petak hutan telah dihabisi. Sebagai contoh, lebih dari 20 persen
ijin penebangan di Indonesia berada di Papua, naik dari 7 persen di
tahun 1990an.
Selain penebangan, pengubahan hutan untuk pertanian ukuran besar,
terutama perkebunan kelapa sawit, telah menjadi kontributor penting bagi
berkurangnya hutan di Indonesia. Kawasan kelapa sawit meluas dari
600.000 hektar di tahun 1985 menjadi lebih dari 5,3 juta hektar di tahun
2004. Pemerintah berharap kondisi ini akan berlipat ganda dalam waktu
satu dekade dan, melalui program transmigrasi, telah mendorong para
petani untuk mengubah lahan hutan liar menjadi perkebunan. Karena cara
termurah dan tercepat untuk membuka lahan perkebunan adalah dengan
membakar, upaya ini justru memperburuk kondisi: setiap tahun ratusan
dari ribuan hektar are berubah menjadi asap saat pengembang dan
agrikulturalis membakar kawasan pedalaman sebelum musim hujan datang di
bulan Oktober atau November.
Kegagalan
pemerintah
Walau
Indonesia memiliki hukum untuk melindungi hutan dan membatasi
pembakaran pertanian, mereka diterapkan dengan sangat buruk. Manajemen
hutan di Indonesia telah lama dijangkiti oleh korupsi. Petugas
pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan
tanpa reputasi baik dan politisi licik, ini berarti larangan penebangan
hutan liar yang tak dijalankan, penjualan spesies terancam yang
terlupakan, peraturan lingkungan hidup yang tak dipedulikan, taman
nasional yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan hukuman
penjara yang tak pernah ditimpakan. Korupsi, dikombinasikan dengan
kroniism yang muncul pada masa mantan Presiden Jendral Soeharto
(Suharto), telah beberapa kali merusak upaya mengendalikan kebakaran
hutan: 1997, negara ini tak dapat menggunakan dana spesial reboisasi
non-bujeter mereka untuk melawan kebakaran karena dana tersebut telah
dialokasikan untuk proyek mobil yang gagal milik anak diktator tersebut.
Saat ini pemerintah masih menolak untuk menghukum mereka yang melanggar
hukum yang melarang menggunakan api untuk membuka lahan.
Ini
waktunya bagi pemerintah Indonesia untuk mulai serius menangani
penggundulan hutan dan kebakaran yang kerap terulang. Komitmen politis
adalah kuncinya - tanpanya, sumbangan-sumbangan uang dalam jumlah besar
akan terus dihamburkan tanpa menghentikan penebangan hutan ilegal dan
berkurangnya hutan.
Pemerintah
sebaiknya meratifikasi Perjanjian ASEAN mengenai Polusi Asap Antar
Negara, konvensi yang ditandatangani pada tahun 2002 menindaklanjuti
kebakaran hutan tahun 1997-1998. PErjanjuan ini membutuhkan kerjasama
multinasional untuk melawan kebakaran di kawasan tersebut. Meratifikasi
perjanjian itu akan menjadi sinyal awal komitmen politis terhadap
permasalahan yang ada, namun pemerintah kemudian harus melanjutkannya
dengan implementasi dan inisiatif 'good governance', seperti menerapkan
larangan pembakaran lahan dengan ketat. Tanpa penerapan ini, hukum tak
akan ada gunanya. Indonesia tak akan lagi dapat mengabaikan aktifitas
kriminal dengan kepentingan kuat. Sebagai contoh, Indonesia perlu untuk
menindaklanjuti permintaan Malaysia untuk menuntut perusahaan-perusahaan
Malaysia yang terlibat dalam pembakaran hutan di Kalimantan Selatan dan
Sumatera. Perusahaan yang terbukti bertanggungjawab atas pembakaran
ilegal, tak peduli dimana mereka berada, akan kehilangan ijin usahanya
dan petugas-petugasnya di penjara.
Saat kebakaran berkurang musim dingin ini, Indonesia seharusnya menyelidiki kemungkinan yang ditawarkan oleh pasar karbon yang muncul ini yang dapat memberikan pemasukan bagi negara dengan melindungi hutan dari pengembangan. Inovasi strategis lain - dari sertifikasi agrikultural dan kayu yang komprehensif hingga sponsor oleh pihak swasta untuk konservasi hutan - seharusnya juga tidak dilupakan.
Kegagalan internasional
Meski mudah untuk menyalahkan pemerintah Indonesia atas tak adanya tindakan, masyarakat internasional juga telah gagal. Daripada mengkritik Indonesia atas kekurangannya, pemerintah asing seharusnya menjanjikan keahliannya dan memberikan bantuan dalam jumlah besar. Kebakaran hutan Indonesia mempunyai dampak global dengan menghilangkan keanekaragaman hayati dan menyumbangkan gasgas rumah kaca ke atmosfer (kebakaran tahun 1997 melepaskan sekitar 2,67 milyar ton karbon dioksida). Dalam area tertentu, kebakaran ini meracuni udara dan dikaitkan dengan berkurangnya hujan. Dalam kasus dimana masalah Indonesia adalah masalah dunia, masyarakat global seharusnya meningkatkan kesempatan untuk menujukan bencana kebakaran ini dengan sikap yang pintar dan terkoordinasi dengan baik.
source : http://world.mongabay.com/indonesian/pemerintah.html
No comments:
Post a Comment