Thursday 20 September 2012

Krisis Air, Lalu bagaimana cara atasinya?



Air merupakan bagian terbesar di bumi, namun hanya 2,53 persennya merupakan air bersih. Sebanyak dua pertiga dari air bersih itu berupa sungai es (glaser) dan salju permanen yang sulit untuk dimanfaatkan. Dari waktu ke waktu sumber daya air bersih makin berkurang akibat pertambahan penduduk.


Diperkirakan pada tahun 2045 jumlah penduduk akan menembus angka 9 milyar jiwa. Angka yang sungguh fastastik mengingat jumlah lahan yang terbatas. Efek yang tidak dapat dielakkan dari kenaikan jumlah penduduk ini yaitu permasalahan air. Pesatnya pertumbuhan penduduk kota membawa konsekuensi makin beratnya beban negara dalam menyediakan berbagai kebutuhan sosial dasar penduduk. Salah satu di antaranya adalah kebutuhan air bersih dan sanitasi. Banyak negara di dunia, terutama negara berkembang, tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup paling hakiki tersebut. Saat ini terdapat 827,6 juta orang tinggal di kawasan kumuh tanpa akses air minum dan sanitasi yang memadai. Kondisi buruk ini memicu berjangkitnya berbagai macam penyakit.

Menurut Jacques Diouf, direktur jenderal organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO), saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih dibandingkan dengan seabad silam, namun ketersediaannya justru menurun. Akibatnya, terjadi kelangkaan air yang harus ditanggung oleh lebih dari 40 persen penduduk bumi. Kondisi ini akan kian parah menjelang tahun 2025 karena 1,8 miliar orang akan tinggal di kawasan yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Ancaman krisis air semakin nyata di hadapan kita. 

Kerusakan lingkungan atas penggundulan hutan penyebab utama kekeringan dan kelangkaan air bersih. Kawasan hutan yang selama ini menjadi daerah tangkapan air (catchment area) mengalami penurunan kualitas dan kuantitas karena penebangan liar. Laju kerusakan di semua wilayah sumber air semakin cepat, baik karena penggundulan di hulu, dihilir maupun pencemaran di sepanjang DAS. Kondisi ini tidak saja sebagai ancaman potensi wilayah sumber air sebagai sumber penyediaan air bersih namun juga mengancam potensi flora dan fauna.



WHO (World Health Organization) sebagai Badan Kesehatan Dunia memberikan peringatan bahwa 1,6 juta orang tewas akibat air minum yang tercemar, kecuali bila pemerintah melakukan upaya bersama untuk menjernihkan pasokan air. Sebanyak 1,1 milyar (sekitar 16.5%) penduduk dunia tidak mempunyai akses terhadap air minum dan 2,4 milyar (sekitar 35.8%) penduduk dunia tidak mempunyai akses terhadap sanitasi yang memadai.

Sudah saatnya secara bersama Pemerintah dan masyarakat melakukan perbaikan dan pemeliharaan lingkungan secara terus menerus. Untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama hampir disetiap tahun kekeringan dimusim kemarau banjir dimusim hujan. Sebagaimana terjadi ditahun 2003, defisit air terjadi di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 13,4 milyar meter kubik. Kondisi kualitas air yang terus cenderung menurun masih ditambah dengan budaya masyarakat yang menganggap sungai dan danau sebagai tempat pembuangan sampah, limbah padat, cair, atau air limbah lainnya. 

Bagaimana cara mengatasi krisis air di Indonesia?



Pemenuhan air bersih dan sanitasi merupakan domain negara/pemerintah. Pada umumnya kota-kota besar di Indonesia saat ini terlihat kedodoran dalam memenuhi kebutuhan air bersih dan sanitasi bagi warganya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, saat ini baru mampu memasok 62 persen dari kebutuhan yang ada. Dari angka 62 persen itu pun banyak yang belum memenuhi standar pelayanan minimal.

Untuk mengatasi permasalahan air ini, pemerintah kota di Indonesia dapat mencontoh berbagai pendekatan yang telah ditempuh pemerintah kota di sejumlah negara, seperti Accra (Ghana), Alexandria (Mesir), Belo Horizonte (Brasil), Granada (Nikaragua), Lima (Peru), dan Zaragoza (Spanyol).

Kota-kota tersebut mengutamakan peningkatan akses kepada sistem suplai air, peningkatan akses ke fasilitas sanitasi, air bersih untuk warga miskin, partisipasi sosial masyarakat, manajemen permintaan, peminimalan kehilangan, serta peningkatan kesadaran melalui pendidikan.

Proyek percontohan yang pernah dilakukan di Alexandria fokus pada perbaikan infrastruktur dasar air minum dan saluran air kotor (drainase) serta menghadirkan sebuah model bagaimana mengimplementasikan manajemen air perkotaan yang terintegrasi (integrated urban water management). Aktivitas yang ditempuh antara lain menggunakan peralatan penghemat air dan memanfaatkan sumber air alternatif untuk pengamanan kualitas air minum dengan memanfaatkan air tanah untuk irigasi areal hijau.


Upaya lain yang ditempuh adalah meminimalkan kehilangan air dari jaringan pipa dengan memperbaiki dan memasang instalasi pengukur meter air yang baru. Pemantauan dilakukan secara reguler terhadap produksi air dan pengiriman ke lain wilayah, termasuk menindaklanjuti permintaan dan kehilangan air.

Aktivitas lain yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan air di perkotaan adalah dengan melakukan pemanenan air hujan. Di Anne Frank and Pedro Guerra Schools di Belo Horizonte, ada proyek percontohan yang memfokuskan pada penyimpanan dan penggunaan air hujan untuk irigasi kebun, lahan komoditas pertanian, serta untuk menyiram halaman sekolah. Demonstrasi seperti ini sangat baik untuk ajang pendidikan bagi siswa menyangkut berbagai isu tentang air (konsumsi, pemanfaatan, penghematan, dan kualitas).


Gerakan hemat air perlu digalakkan kembali di semua sendi kehidupan. Gerakan ini dapat dimulai dari hal-hal paling kecil, misalnya dengan memanfaatkan ulang air buangan untuk menyiram tanaman di halaman atau untuk mengguyur toilet, bahkan juga pada kegiatan ekonomi yang paling banyak membutuhkan air, yaitu sektor pertanian. Kampanye more crop per drop (makin banyak tanaman dengan setitik air) perlu dimasyarakatkan kepada petani melalui berbagai teknologi budidaya yang lebih hemat air.


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...